Menurut sejarah penyiaran yang telah dibahas sebelumnya, bentuk-bentuk siaran yang ada pada radio sekarang ini, cikal bakalnya telah hadir pada teknologi komunikasi sebelumnya, yaitu telepon. Lalu apa yang membedakan antara siaran pada telepon dengan radio? Inovasi teknologi komunikasi tanpa kabel adalah jawabnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan terhadap kabel menurun, bahkan tidak ada. Dari sisi ekonomi, inovasi ini sungguh efisien karena perangkat yang dibutuhkan semakin sedikit dan jarak tidak menjadi kendala lagi. Berbeda dengan komunikasi yang menggunakan kabel, faktor jarak merupakan faktor yang diperhitungkan karena berpengaruh terhadap penggunaan kabel. Penggunaan gelombang elektromagnetik yang ada di angkasa bebas inilah yang pada perkembangannya membentuk karakter dari radio dan televisi.

Lalu apa definisi penyiaran pada literatur kontemporer dan bagaimana ruang lingkup sistem penyiaran? Broadcasting dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai pengiriman program oleh media radio dan televisi (the sending out programmes by radio or television). Broadcasting berasal dari kata kerja to broadcast yang diartikan sebagai alat berbicara atau menampakkan diri di radio atau televisi (to speak or appear on radio or television). Di samping itu, broadcaster merupakan sebutan profesional untuk orang yang bertugas mengirim program di radio atau televisi saja (A.S. Hornby dalam Masduki, 2006: 1). Dalam kamus lain, broadcasting diartikan sebagai siaran radio dan televisi atau media penyiaran. Dengan demikian, menyebut media penyiaran maka yang dimaksud adalah televisi dan radio, yaitu dua media komunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi untuk menyampaikan program dalam bentuk gabungan suara atau suara (Masduki, 2006: 1).

Di samping itu, penyiaran dipahami sebagai alat penerusan gambaran-gambaran tentang barang dari produsen ke konsumen, dan sebagai cara untuk menciptakan pengalaman bersama bagi jutaan orang yang tinggal bersama dalam komunitas atau negara. Untuk itu, televisi merupakan medium ritual di mana muncul perasaan adanya komunikasi lebih penting daripada pesannya. Dengan demikian, televisi menimbulkan dampak, yakni berupa dorongan sosial dan terciptanya proses adaptasi sosial (Geoff Mulgan dalam Masduki, 2006: 2).

Penggunaan istilah penyiaran secara makro mengacu pada media elektronik radio dan televisi. Dalam makna denotatifnya, istilah penyiaran dirumuskan sebagai: radio or television presentation. Richard Weiner menyatakan bahwa penyiaran atau broadcasting adalah a single radio or television program, the transmission or duration of program any message that is transmitted over a large area. Di samping itu, rumusan konvensi organ khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bidang telekomunikasi International Telecomunication Union (ITU), mengenai broadcasting service adalah a radio communication service which the transmissions are intended for direct reception by the general public. This service may include sound transmissions, television transmission or other types of transmission (Hermin Indah Wahyuni dalam Masduki, 2006: 2-3).

Sebelum membahas sistem penyiaran, baiknya dipaparkan dulu definisi sistem itu sendiri. Masduki mengutip istilah sistem yang diungkapkan David Easton dalam bukunya A System Analysis of Political Life untuk menjelaskan keseluruhan interaksi yang mengakibatkan terjadinya pembagian nilai-nilai dalam masyarakat. Sistem seringkali disandingkan dengan prosedur, di mana memiliki pengertian bahwa penyelenggaraan yang teratur atas kegiatan yang saling terkait. Oleh karena itu, prosedur merupakan serangkaian langkah yang harus ditempuh dalam memulai, melaksanakan, mengendalikan, dan menyelesaikan berbagai yang dilakukan berulang-ulang. Dengan demikian sistem merupakan penyelenggaraan yang teratur sehingga prosedur memiliki serangkaian langkah-langkah dan klasifikasi sebagai cara untuk mencapai tujuan. Untuk itu, sistem berlawanan dengan klasifikasi sebagai cara untuk mencapai tujuan, dan berlawanan dengan klasifikasi yang diartikan sebagai cara penilaian unsur-unsur, misalnya benda, ide, dan kalimat ke dalam kelompok yang memiliki karakteristik sama. Ciri-ciri sistem adalah dari elemen-elemen yang memiliki hubungan tertentu. Masing-masing memiliki peluang untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Interaksi antara elemen satu dengan elemen lain dalam sistem mengakibatkan perubahan pada masing-masing karakter (Redi Panuju dalam Masduki, 2006: 3).

Dari dua unsur kata “penyiaran dan sistem” dapat disimpulkan bahwa sistem penyiaran adalah rangkaian penyelenggaraan penyiaran yang teratur dan menggambarkan interaksi berbagai elemen di dalamnya seperti tata nilai, institusi, individu, broadcaster, dan program siaran. Sistem penyiaran melingkupi pula prosedur dan klasifikasi yang tersimpul dalam aturan main, seperti undang-undang. Ruang lingkup lahirnya wacana sistem penyiaran yang semakin luas dan kompleks karena adanya pendanaan dan supervise publik atas media siaran radio dan televisi (Masduki, 2006: 3-4).

Dalam mengkaji sistem penyiaran, dikenal dua teori penting yang digagas  oleh Joseph R. Dominick yang dikutip Masduki (2006: 5). Pertama, the scarcity theory atau teori keterbatasan yang mencatat bahwa gelombang elektromagnetik bersifat terbatas. Keterbatasan ini hanya mempu digunakan oleh stasiun penyiaran secara terbatas sehingga hanya segelintir orang yang bisa menggunakannya. Dari sekian banyak calon pengguna frekuensi, negara harus menyeleksi pengguna frekuensi yang dianggap mampu mengelola dan bertanggung jawab terhadap publik. Kedua, the pervasive presence theory yang mengasumsikan bahwa media penyiaran sangat dominan pengaruhnya kepada masyarakat, melalui pesan yang begitu massif dan masuk pada wilayah pribadi sehingga perlu diatur agar semua kepentingan masyarakat bisa terwadahi dan terlindungi. Teori ini mengharuskan peran negara melalui proses yang demokratis dalam membuat regulasi yang mengatur isi media penyiaran. Berdasarkan dua teori ini, sistem kepemilikkan dan pengelolaan media di berbagai negara, umumnya tidak terpusat pada satu pihak dalam masyarakat. Menurut Dominick ada tiga model kepemilikkan media penyiaran:

Tabel 2.1

Model Kepemilikkan Media Penyiaran

Pemilik media

Tujuan

Regulasi

Pendanaan

Program

Government Agency (Penguasa) Mobilization (Mobilisasi sosial politik) Strong (Ketat) Government (Dana Pemerintah) Ideological/ Cultural (Ideologisasi)
Government Corporation (Publik) Education/ Cultural Enlightment (Pendidikan, Budaya, dan Penyadaran) Moderate (Sedang) License Fee/ Tax Government Advertising (Pajak, Iuran dan Dana Pemerintah) Cultural/ Educational/ Entertainment (Budaya, Pendidikan, dan Hiburan)
Private (Swasta) Profit (Mencari Untung) Weak (Lemah) Advertising (Periklanan) Entertainment (Hiburan)

(Sumber: Dominick dalam Masduki, 2006: 6).

Selain itu, dilihat dari skala supervisi publik atau peluang akses publik pada media penyiaran, maka karakteristik media penyiaran dapat dibagi menjadi tiga bagian seperti dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.2

Penggolongan Lembaga Penyiaran

Berdasarkan Skala Supervisi Publik

Tidak terdapat pengakuan sognifikan peran supervisi dan evaluasi oleh publik

Skala supervisi politik

Terdapat pengakuan sognifikan peran supervisi dan evaluasi oleh publik

(1) Lembaga Penyiaran Komersial. Pelakunya swasta (non-pemerintah), berbentuk perseroan terbatas. Lembaga penyiaran komersial yang ditujukan untuk komunitas tertentu yaitu pelakunya swasta, yayasan, kampus, LSM, dan lainnya. (2) Lembaga penyiaran Publik. Pelakunya Negara dan swasta.
(3) Lembaga penyiaran Komunitas berdasarkan batasan geografis dan identitas atau minat yang sama, yakni pelakunya swasta, LSM, dan Kampus.

(Sumber: Effendi Gazali dalam Masduki, 2006:  8).

Dilihat dari skala supervisi publiknya, makin komersial media penyiaran, maka makin lemah akses publik untuk mengontrol dan memilikinya secara memadai dan adil (Gazali dalam Masduki, 2006: 9).

Berdasarkan karakteristik operasionalisasinya yang membutuhkan sarana teknis atau teknologi telekomunikasi dan siaran yang ditransmisikan melalui perangkat teknis tersebut, maka media penyiaran terbagi dalam dua peran, yaitu sebagai service provider dan content provider. Untuk itu, Undang-Undang Telekomunikasi diperlukan untuk mengatur penyiaran sebagai telecommunication service provider dan Undang-Undang Penyiaran diperlukan untuk menata penyiaran sebagai infrastruktur dan content provider.[1] Sebagai service provider, media penyiaran menggunakan spektrum frekuensi. Keberadaan media penyiaran ditentukan oleh basis material dan basis sosio-kultural masayarakat. Basis material media penyiaran adalah keberadaan jalur gelombang elektromagnetik dan fasilitas perangkat keras transmisi yang pemakaiannya diakui secara legal, sedangkan basis kultural masyarakat adalah orientasi dan fungsi yang direncanakan serta ditetapkan secara legal sebagai landasan beroperasinya media penyiaran di masyarakat (Masduki, 2006: 9).

Untuk melihat peta permasalahan dunia telekomunikasi dan media penyiaran, dapat dirangkum melalui basis material dan kultural sebagai berikut:

    Tabel 2.3

Basis Material dan Kultural Media Penyiaran

 

Basis Material

Sifat frekuensi

  1. Vertikal/ satelit: cakupan footprint nasional dan lintas negara
  2. Horizontal/ terrestrial: cakupan ke wilayah lokal atau jaringan nasional
  3. Kombinasi: satelit + terrestrial

 

Sifat teknis

  1. Wire/ kabel tertutup
  2. Sireless/ tanpa kabel tertutup (on demand)
  3. Wireless terbuka

 

Peruntukkan teknis

  1. Audio
  2. Teks
  3. Audio-visual
  4. Konvergensi: audio, teks, audio-visual

 

Bentuk

  1. Point to point/ titik ke titik (telepon, radio, radio panggil, radio antarwarga)
  2. Broadcasting/ penyiaran.

Basis Kultural

Sistem pemilikkan

  1. Pemerintah
  2. Swasta komersial
  3. Swadaya masyarakat
  4. Campuran (pemerinta-swasta komersial)

 

Sistem pendanaan

  1. Negara budgeter melalui DPR
  2. Warga: iuran, kapital sosial
  3. Komersial: penjualan jam siaran, berlangganan
  4. Kombinasi negara-warga
  5. Kombinasi negara-komersial
  6. Kombinasi warga-komersial
  7. Kombinasi warga-komersial-negara

 

Peruntukkan fungsi

  1. Negara/ pemerintah
  2. Bisnis/ komersial
  3. Publik/ kultural

(Sumber: diolah oleh Masduki, 2006: 11 dari Brittner (1991), Browne (1989), dan Ashadi Siregar (2002).

Dari tabel di atas, dapat dibedakan antara media cetak dan media penyiaran. Media penyiaran isinya berbentuk audio dan audio-visual, tampilannya meluas ke seluruh sektor khalayak, melebar dalam coverage area, berteknologi tinggi, dan organisasi yang kompleks (complex technology and organization), diatur serta memiliki karakter publik (public character and extensive regulation). Media penyiaran dapat berskala nasional dan internasional, isinya beragam (very diverse content forms), sedangkan media cetak bersifat regular dan tampak informative (information content), yang berfungsi sebagai ruang publik (public shere functions), dikonsumsi oleh khalayak urban, dan keberadaannya relatif bebas. Maedia telematika berbasis komputer (computer based technology), katakternya fleksibel, bisa berfungsi untuk pribadi dan publik, sedangkan tingkat regulasinya rendah (Masduki, 2006: 12).

Menurut McQuail yang dikutip Masduki (2006: 12), media penyiaran dikontrol pada dua wilayah dan alasan, yaitu (1) wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural (political and moral/ cultural reason), dan (2) wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi (technical and economic reason). Aturan yang pertama menunjukkan bahwa isi siaran perlu diatur karena sangat mudah mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak, khususnya yang belum memiliki kerangka referensi yang kuat seperti usia muda atau remaja. Dalam hal ini, unsur kultural dalam pengaturan media penyiaran perlu diatur karena efeknya yang begitu besar terhadap khalayak.

Menurut Noorbalqis, seorang anggota Fraksi Persatuan Pembangunan dalam Pandangan Umum RUU Fraksi PPP atas Penyiaran di DPR yang dikutip Masduki (2006: 12-3), efek media penyiaran meliputi dua hal. Pertama, efek dikotomi, yaitu efek kehadiran media itu sendiri dan efek pesan yang ditimbulkannya kepada masyarakat dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioral. Kedua, efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari individual, interpersonal, dan sistem dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioral. Efek kognitif memengaruhi pengetahuan, pemahaman, dan persepsi masyarakat, menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan. Efek afektif memengaruhi perasaan, seperti perasaan senang dan benci yang menyangkut emosi, sikap, dan nilai. Efek behavioral memengaruhi perilaku, seperti pola tindakan dan kebiasaan. Ketiga efek itu pada gilirannya mengakibatkan multiplier effect dan derivative effect, yakni efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kegiatan, efek penyaluran perasaan tertentu, dan efek konsumsi media itu sendiri.

Daftar Pustaka:

Judhariksawan. 2010. Hukum Penyiaran. Jakarta: Rajawali Press.

Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKiS


[1] Judhariksawan, pakar hukum telekomunikasi Universitas Hasanuddin yang juga anggota KPI Pusat periode 2010-2013, membagi hingga enam aspek hukum penyiaran berdasarkan karakteristik media penyiaran, yaitu aspek hukum teknologi penyiaran, aspek hukum perizinan, aspek hukum program siaran, aspek hukum internasional, aspek hukum dan hukum pidana. Dalam bukunya Hukum Penyiaran, ia menjelaskan bahwa sesungguhnya Hukum Penyiaran merupakan bagian terkecil (genre) dari kajian Hukum Telekomunikasi (genus). Hukum Telekomunikasi sendiri adalah primat hukum khusus atau lex specialis yang mengkaji dan mengatur hal-hal yang berkenaan dengan telekomunikasi. Hukum Telekomunikasi bersandar pada konvensi-konvensi, perjanjian-perjanjian internasional, dan kebiasaan-kebiasaan internasional (international customary law) yang sejak awal kelahiran telekomunikasi terpelihara dan terus berkembang hingga saat ini. Lebih jelas mengenai Hukum Penyiaran lihat Judhariksawan, Hukum Penyiaran¸2010.