Sampul buku

 

 

 

Judul buku          : Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi
Penulis                 : H. Rosihan Anwar
Penerbit              : Media Abadi, 2004
Tebal                     : x + 160 halaman

Buku ini dapat disebut sebagai “harta karun” yang terselamatkan. Mengapa? Penulis, materi buku, dan latar sejarah yang melingkupinya menjadi tiga hal yang membuat buku ini dapat disebut sebagai “harta karun”.  H. Rosihan Anwar sebagai penulis buku ini kita ketahui sebagai tokoh pers pada era sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan. H. Rosihan Anwar juga dapat disebut perintis pers setelah kemerdekaan Indonesia. Ia memberi warna, gaya, dan pedoman bagi perkembangan dunia pers pada saat itu.

Kisah naskah ini sehingga bisa terbit oleh penerbit Media Abadi pada 2004 juga merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Naskah ini pertama kali diterbitkan pada 1979 oleh Proyek Pembinaan  dan Pengembangan Pers Departemen Penerangan Republik Indonesia bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Buku ini menjadi pedoman bagi para wartawan dalam Program Karya Latihan Wartawan (KLW-PWI) yang dipimpin oleh H. Rosihan Anwar sendiri. KLW ini diselenggrakan sejak 1970 dengan tujuan untuk meningkatkan mutu, kemampuan profesional wartawan, antara lain dalam menggunakan bahasa jurnalistik yang baik dan menerapkan azas komposisi yang benar. Pada 1980-an, buku ini juga dipakai sebagai buku pegangan dan rujukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Indonesia ketika penulis menjadi dosen luar biasa pada universitas tersebut selama dua tahun.  Oleh karena itu pula buku ini mengalami cetak ketiga dan keempat pada 1991 yang diterbitkan oleh PT Pradnya Pramita, sebuah perusahaan yang berada dalam lingkungan Departemen Penerangan.

Namun setelah Departemen Penerangan ditutup pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, maka nasib buku ini pun juga tak menentu. Buku yang turut andil dalam perkembangan sejarah dunia pers Indonesia pada Orde Baru ini hampir tak jelas rimbanya. Sungguh patut disyukuri ketika Penerbit Media Abadi berinisiatif untuk menerbitkan kembali buku ini. Jadilah para calon wartawan, wartawan, dan peminat dunia pers dapat mempelajari salah satu keahlian dan “senjata” yang wajib dikuasai  oleh wartawan.

Buku ini menjadi memiliki nilai yang lebih berarti ketika kran kebebasan pers dibuka sebesar-besarnya. Industri pers yang semakin  menggeliat pada era kebebasan pers ini semakin membutuhkan sumber daya manusia yang handal di bidangnya. Buku ini berperan sebagai sarana yang dapat digunakan dalam memenuhi sumber daya tersebut.

Pada buku ini dikupas hal-hal yang membahas tentang bahasa jurnalistik. Sepertinya materinya masih tetap sama dengan materi KLW yang dimulai pada 1970-an itu. Hal ini disimpulkan karena pada bagian pengantar buku ini, yang ditulis penulis pada 2004, tidak disinggung mengenai adanya revisi setelah sempat empat kali mengalami cetak ulang pada 1991 dan yang kelima kalinya pada 2004 dengan penerbit yang berbeda. Tapi walau begitu, buku ini masih sangat relevan untuk dipelajari sebagai perkembangan bahasa jurnalistik Indonesia karena sebagian isinya memang menyangkut hal-hal historis seperti kemunculan kosa kata baru Bahasa Indonesia yang dipopulerkan oleh media massa pada saat itu.

Tidak salah jika buku ini digolongkan ke dalam buku sejarah perkembangan bahasa jurnalistik Indonesia. Pada bagian pertama buku ini, penulis membahas tentang ikhtisar bahasa jurnalistik Indonesia . Ihktisar ini juga mencakup tentang peran bahasa baku dalam penulisan bahasa jurnalistik. Beberapa ahli bahasa dilibatkan dalam KLW yang isinya juga merupakan isi buku ini. Beberapa di antaranya yaitu Prof. S. Wojowasito dari IKIP Malang dan Dr Yus Badudu dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Masing-masing dari mereka juga memberikan definisi tentang bahasa jurnalistik yang intinya menekankan pada bahasa yang singkat, padat, lugas, sederhana, dan menarik.

Pada bagian ini, penulis juga menceritakan mengenai sejarah munculnya kosa kata baru akibat dari peran media massa yang memomulerkannya. Salah satunya adalah Harian Pedoman yang pernah dipimpin oleh penulis sendiri. Ia juga mengisahkan dirinya yang pernah memomulerkan kata gengsi yang diadaptasi dari kata asing prestige. Hal ini menunjukkan bahwa media massa sangat berperan pada perkembangan bahasa baku yang digunakan di Indonesia.

Bab-bab berikutnya penulis membahas tentang hal teknis penulisan yang dijelaskan dengan gaya bertutur disertai dengan contoh-contoh sehingga pembaca sangat dimudahkan dalam proses mengerti materi yang disampaikan. Penulis juga tidak jarang mengutip pernyataan ahli bahasa sebagai upaya untuk mendukung hal-hal yang disampaikan.

Buku ini, seperti ditulis dalam pengantar, ibarat “evergreen”, hijau senantiasa, tidak pernah basi, dan perlu dibaca bagi generasi baru wartawan. Hal ini perlu bagi generasi baru wartawan agar mengetahui akar sejarah bahasa yang mereka gunakan dalam pekerjaan mereka. Maka bagi para generasi baru wartawan dan calon wartawan, tidak berlebihan bila buku ini disebut sebagai “mutiara” yang padat dan menarik serta sangat berguna bagi perkembangan bahasa jurnalistik Indonesia.