Terdapat pertanyaan mengenai definisi wartawan profesional. Seperti apa wartwan profesional? Lalu apa syaratnya? Tulisan ini akan membahas hal seputar itu.

Pekerjaan dan Profesi

Profesi adalah pekerjaan. Namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Tukang sapu adalah pekerjaan, tapi bukan profesi. Penjahit adalah pekerjaan, tapi juga bukan profesi. Berbeda dengan desainer yang merupakan suatu pekerjaan yang bisa dijadikan profesi, walaupun pekerjaannya berkaitan erat dengan jahit menjahit seperti penjahit. Lalu apa yang membedakan profesi dengan pekerjaan? Apakah wartawan merupakan profesi? Sebelum menjawab kedua pertanyaan itu, kita harus mengetahui mengenai profesi itu sendiri.

Berdasarkan penelusuran saya di dunia maya, saya menemukan definisi mengenai profesi pada situs Wikipedia yang pada situs itu tertulis bahwa profesi pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Indikator suatu pekerjaan yang dapat disebut profesi adalah terdapat asosiasi profesi, kode etik, proses sertifikasi, dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut.

Namun, karena situs tersebut terkenal dengan karakternya yang dapat disunting oleh siapa saja, saya berusaha mencari referensi yang lain. Karakter situs Wikipedia yang dapat disunting oleh siapa saja membuat Wikipedia tidak dapat dijadikan sebagai sumber yang valid. Hal itu saya pelajari ketika saya mengikuti mata kuliah Eksplorasi Sumber Informasi. Berlanjutlah penelusuran saya di dunia maya hingga saya menemukan pernyataan lain tentang profesi pada sebuah blog yang beralamat di http://romeltea.wordpress.com/2007/10/02/kode-etik-jurnalistik-etika-profesional-wartawan/. Pada blog itu dinyatakan bahwa sebuah pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi jika memiliki empat hal, yaitu (1) harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tersebut; (2) harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu; (3) harus ada keahlian (expertise); (4) harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf,1987). Hal ini dikemukakan oleh Dr. Lakshamana Rao, seorang sarjana India yang Asep Syamsul M. Romli (penulis blog) kutip dari Assegaf.

Secara garis besar terdapat kesamaan antara definisi yang berasal dari Wikipedia dan blog di atas, bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai profesi, maka suatu pekerjaan harus memiliki asosiasi profesi dan kode etik. Pertanyaan pertama yang diajukan pada alinea awal sudah terjawab. Untuk pertanyaan kedua, sudah dapat dijawab dan dipastikan bahwa wartawan merupakan suatu profesi dengan terdapatnya asosiasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan masih banyak asosiasi wartawan lainnya yang semakin banyak bermunculan setelah jatuh Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Juga dengan terdapatnya kode etik wartawan.

Profesi (Wartawan) Muncul di Era Kemenangan Kaum Liberal

Mengenai sedikit sejarah munculnya wartawan sebagai munculnya, Denis McQuail menuliskan dalam bukunya yang bertajuk “Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar” Edisi Kedua. Dalam buku yang sudah dialihbahasakan dari karya aslinya dalam Bahasa Inggris pada 1987 ini, McQuail membahas sedikit mengenai kemenangan liberalisme dan akhir sensor langsung atau beban fiskal, lahirnya kelas sosial kapitalis yang secara relatif bersikap progresif dan beberapa profesi lainnya, sehingga mendorong lahirnya badan usaha profesional, banyak perubahan sosial dan teknologi yang menghendaki adanya sistem kerja pers regional dan nasional yang menyuguhkan informasi berkualitas tinggi. Hal-hal tersebut menyebabkan dimulainya fase surat kabar “borjuis”, yang bermula dari 1850 hingga akhir abad 19.

Ciri-ciri utama “elit” pers baru yang berperan dalam kurun waktu tersebut adalah ketidaktergantungan formal terhadap pihak pemerintah dan kelompok yang mementingkan diri (vested interest), penerimaan ke dalam struktur masyarakat sebagai institusi utama dalam kehidupan sosial dan politik, munculnya profesi kewartawanan yang menerapkan pelaporan peristiwa secara objektif, tanggung jawab sosial dan etis yang tinggi, penerapan peran pemberi pendapat dan pembentuk pendapat secara bersamaan, kecenderungan mengaitkan diri dengan “kepentingan nasional” secara berulang kali. [1]

Dilihat dari sejarahnya, profesionalisme lahir dari rahim era industri, industri pers modern. Profesionalisme lahir untuk memenuhi kebutuhan kaum pemilik modal untuk menghasilkan produk kualitas tinggi yang dapat diserap oleh pasar, alih-alih melayani kebutuhan masyarakat.

Wartawan Profesional?

Dari pemaparan sebelumnya dapat disepakati bahwa suatu pekerjaan dikategorikan sebagai profesi jika terdapat asosiasi profesi, kode etik, dan perlu pendidikan khusus. Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu disebut profesional. Wartawan merupakan profesi. Oleh karena itu orang yang bekerja sebagai wartawan disebut sebagai profesional. Berdasarkan pernyataan itu, menurut saya seperti ada yang janggal dengan istilah wartawan profesional. Wartawan memang sudah seharusnya profesional. Frase “wartawan profesional” mengundang kebingungan. Frase ini seolah menimbulkan kesan bahwa ketika kata “profesional” dihilangkan dari frase tersebut, maka wartawan menjadi tidak profesional. Mungkin ini sebuah kritik tehadap frase tersebut dan orang-orang (mungkin kebanyakan) yang mengamini frase tersebut.

Wartawan memang profesional karena pekerjaannya sudah diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)[2] yang dilandasi oleh Undang-Undang Pers no. 40 tahun 1999. Jika tetap memaksakan menanyakan mengenai definisi wartawan profesional, maka jawabannya adalah wartawan yang mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku baik Undang-Undang Pers maupun kode etik[3] yang dikeluarkan oleh asosiasi wartawan atau kesepakatan berbagai asosiasi wartawan. Untuk melaksanakan pekerjaan atau tugas jurnalistik maka diperlukan keahlian jurnalistik yang didapatkan dari pendidikan khusus.

Mengenai definisi maupun syarat wartawan profesional tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU Pers maupun KEWI. Pada Bab 3 pada UU Pers yang meliputi 2 pasal (pasal 7 dan 8) tentang wartawan, tidak dituliskan mengenai wartawan profesional. Pada bab itu hanya dituliskan mengenai wartawan yang bebas memilih organisasi wartawan, menaati kode etik jurnalistik (pasal 7), dan wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Namun adanya KEWI sudah menunjukkan profesionalitas wartawan. Pada KEWI pasal 2 (Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik) terdapat penafsiran mengenai cara-cara yang profesional itu, yaitu:

Penafsiran
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

e. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

f. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

g. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik

Jadi, mengenai syarat wartawan profesional ialah ketika wartawan tergabung dalam organisasi pers (organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers) yang diakui Dewan Pers[4] dan menaati peraturan tentang profesi kewartawanan (KEWI).


[1] Lih. Denis McQuail. 1987. Teori Komunikasi Massa: Sebuah Pengantar. Erlangga: Jakarta. Hal: 12.

[2] KEWI ini ditetapkan pada 14 Maret 2006 oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia. Dulunya sempat bernama Kode Etik Jurnalistik. Mengenai penamaan ini saya juga tidak sependapat karena yang seharusnya diatur oleh kode etik adalah profesi wartawan, bukan kegiatan pekerjaannya. Penggunaan nama Kode Etik Jurnalistik mengesankan bahwa kegiatan jurnalistik yang harus diawasi karena berpotensi salah dan merugikan orang lain. Padahal kegiatan jurnalistik yang dituangkan ke dalam pers yang berfungsi untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran. (UU No. 40 tahun 1999, pasal 6, tentang peran pers nasional).

[3] Bermunculannya asosiasi wartawan setelah tumbangnya Orde baru, juga mendorong bermunculannya kode etik karena kebanyakan asosiasi wartawan membuat kode etiknya sendiri. Namun pada 14 maret 2006 disepakati Kode Etik wartawan Indonesia oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

[4] Dewan pers berfungsi memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan (UU Pers Bab V tentang Dewan Pers pasal 15 ayat 2 huruf f).